MAKALAH
MANAJEMAN LEMBAGA
KEUANGAN SYARIAH DAN NON BANK

Tentang:
“PEGADAIAN”
RIO RAHMAT
PERKASA 1630401153
riorahmatperkasa696iainbsk.blogspot.com
Dosen:
DR. H. SYUKRI ISKA, M.AG.,
IFELDA
NENGSIH S.E.I., MA
PROGRAM
STUDI PERBANKAN SYARI’AH
JURUSAN
SYARI’AH DAN EKONOMI ISLAM
INSTITUT
AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
BATUSANGKAR
2017/2018
BAB I
PENDAHULUAN
Dalam kegiatan sehari-hari, uang selalu
saja dibutuhkan untuk membeli atau membayar berbagai keperluan. Dan yang
menjadi masalah, terkadang kebutuhan yang ingin dibeli tidak dapat mencukupi
dengan uang yang dimilikinya. Kalau sudah demikian maka mau tidak mau kita
mengurangi untuk memebeli berbagai keperluan yang dianggap tiodak penting, namun
untuk keperluan yang sangat penting terpaksa harus dipenuhi dengan berbagai
cara seperti meminjam dari berbagai sumber dana yang ada.
Jika kebutuhan dana jumlahnya besar,
maka dalam jangka pendek sulit untuk dipenuhi, apalagi jika harus dipenuhi
lewat lembaga perbankan. Namun jika dana yang dibutuhkan relatif kecil tidak
jadi masalah, karena banyak tersedia sumber dana yang murah dan cepat, mulai
dari pinjaman ke tetangga, Lintah darat, sampai pinjaman dari lembaga keuangan
lainnya.
Bagi mereka yang memiliki barang-barang
berharga kesulitan dana dapat segera dipenuhi dengan cara menjual barang
berharga tersebut, sehingga sejumlah uang yang diinginkan sehingga dapat
terpenuhi.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian
Pengadaian
Gadai dalam fiqh disebut rahn, menurut bahasa
adalah nama barang yang dijadikan sebagai jaminan kepercayaan (heri
sudarsono,2003:141. Sedangkan menerut istilah seperti yang dikemungkakan oleh Ulama
Hanifayah bahwa rahn adalah menjadikan sesuatu (barang) sebagai jaminan
terhadap hak (piutang) yang mungkin dijadikan sebagai pembayar hak (piutang)
yang mungkin dijadikan sebagai pembayar hak (piutang) itu, baik seluruhnya
maupun sebagainya. (as-Sarakhisi, 1982: 63).[1]
Penegertian
secara etomilogi (bahasa) ialah والدام
الشبوت (tetap dan
lestari, yang juga diartikan dengan الحبس (menahan). Pengertian secara
terminologi, al-rahn ialah menjadikan barang yang mempunyai nilai menurut
pedangan syara’ sebagai jaminan agar pemilik barang bisa berutang atau
mengambil sebagian manfaat dari barang tersebut atau diistilahkan juga secara
populer dengan gadai (collateral)[2].
B. Operasional
Pengadaian (Syariah Dan Konvensional): Produk, Prosedur Pemanfaatan
Produk-Produk
Mekanisme
operasional pengadaian syariah, Ulama Syafii berpendapat bahwa pengadaian
dikatakan sah bila memenuhi paling tidak tiga syarat berikut:
1.
Harus berupa barang,
karena utang tidak bisa digadaikan.
2.
Penetapan kepemilikan
pengadaian atas barang yang digadaikan tidak terhalang
3.
Barang yang digadaikan
bisa dijual manakala sudah habis masa pelunasan hutang gadai.
Berdasarkan
tiga syarat di atas, maka dapat diambil alternatif dalam mekanisme operasional
pengadaian syariah yang dilakukan dengan menggunakan tiga akad yaitu sebagai
berikut:
1.
Akad al-Qard al-Hasan
Akad al-Qard al-Hasan
dilakukan untuk nasabah yang menginginkan mengadaikan barangnya untuk keperluan
konsumtif. Dengan demikian, nasabah (rahn) akan memberikan bagi hasil biaya
upah atau fee kepada pengadaian (murtahin) yang telah menjaga atau merawat
barang gadaian (marhun).
2.
Akad al-Mudharabah
Akad al-Mudharabah
dilakukan untuk nasabah yang menggadaikan jaminannya untuk menambah modal usaha
(pembiayaan investasi dan modal kerja). Dengan demikian, rahin akan memberikan
bagi hasil (berdasarkan keuntungan) kepada murtahin sesui dengan kesepakatan,
sampai modal yang dipinjam terlunasi.
3.
Akad al-Bai Muqayyadah
Akad al-Bai Muqayyadah
ini dapat dilakukan jika rahin yang mengiginkan menggadaikan barangnya untuk
keperluan produktif, artinya dalam menggadaikan, rahin tersebut mengiginkan
modal kerja berupa pembelian barang. Sedangkan barang jaminan yang dapat
dijaminkan untuk akad ini adalah barang-barang yang dapat dimanfaatkan atau
tidak dapat dimanfaatkan oleh rahin atau murtahin. Dengan demikian, murtahin
akan memerlukan barang yang sesuai dengan keinginkan rahin atau rahin akan
memberikan mark-up kepada murtahin sesuai dengan kesepakatan pada saat akad
berlangsung sampai batas waktu yang telah ditentukan[3].
Prosedur Pemanfaatan
Produk-Produk
Dalam
penggunaan barang gadai oleh pengadaian terdapat berbedaan padangan dikalangan
muslim. Menurut Madzab Hanafi dan Hambali, penerima pengadaian boleh
memanfaatkan barang yang menjadi jaminan untuk utang atas ijin pemiliknya ,
karena pemilik barang itu berhak mengijinkan kepada siapa saja yang ia
kehendaki untuk mennggunakanhak milimnya. Hal ini sesuai dengan sabda Rasulullah saw, dari Abu
Hurairah bahwa, “gadaian dikendari oleh sebab nafkahnya, apabila ia digadaikan
dan susunya diminum oleh sebab nafkahnya, apabila digadaikan atas orang yang
mengendarai dan meminumnya susunya wajib nafkahnya”
Menurut
Imam Syafi’i dan Imam Malik, manfaat barang jaminan secara mutlak adalah hak
bagi yang menggadaikan barang[4].
Hukum
memanfaatkan barang gadai oleh penggadai dan/atau pemilik barang gadai adalah,
bahwa pada dasarnya barang gadai tidak boleh diambil manfaatnya, baik oleh
pemilik barang maupun oleh penggadai, kecuali apabila mendapatkan izin dari
masing-masing pihak yang bersangkutan maupun oleh penggadai, kecuali apabila
mendapat izin dari masing-masing pihak yang besangkutan dengannya sebab pemilik
barang tidak memiliki lagi haknya secara sempurna yang mungkinkan ia melakukan
perbuatan hukum, misalnya mewakafkan,menjual, dan sebagainya sewaktu-waktu atas
barang miliknya itu. Sementara itu, hak pengadai pada barang gadai hanya pada
keadaan atau sifat keadaannya yang mempunyai nilai, tetapi tidak pada guna
pemanfaatan/pemungutan hasilnya. Sebagaimana pemilik barang gadai tidak berhak
menggunakan barangnya itu, tetap sebagai pemilik apabila barang gadainya ituengeluarkan hasil, hasil menjadi miliknya.
(A. Azhar Basyir, Hukum Islam tentag Riba, Utang piutang dan Gadai:56)
Jika
barang gadai tersebut merupakan kendaraan roda dua atau berupa tanah, misalnya:
tanpa izin pemilik barang kedua belah pihak tidak berhak menggunakan barang
gadai itu. Namun demikian, dikhawatirka bisa bertentangan dengan ketentuan
dalam Islam tentang hak milik, yaitu bahwa hak milik Allah (Qs.An-Nur:24/33),
yang merupakan amanat bagi orang yang memiliki harta tersebut. Kerena itu
diusahakan dalam perjanjian gadai itu tercantum ketentuan: “jika pengadaian
minta diizinkan untuk mengunakan /mengambil manfaat dari barang gadai, maka
hasil menjadi milik bersama (production sharing). Ketentuan ini dimaksudkan
untuk menghindari harta benda tidak berfungsi (mubazir).” (syirkh Muhamud
Syalthut, Al-Fatwa:346).
Menurut
Islam tidak membenarkan adanya adat istiadat yang berlaku dalam masyarakat yang
membolehkan penggadaian menanami tanah gada dan memungut seluruh hasilnya sebab
ini mengandung unsur eksploitasi (dzulm) yang merugikan pemilik barang gadai.
Menurut
hukum Islam jika sudah jatuh tempo membayar uang, pemilik barang gadai waji
bmelunasi dan penggadai wajib menyerahkan barangnya segera. Bila pemiliknya
tidak mau membayar dan memberi izin pada penggadaianya untuk menjual, hakim
(pengadilan) dapat memaksa pemilik barang membayar utang atau menjual
barangnya. Kemudian jika barang gadainya telah dijual, dan ada kelebihan harga
penjualan dari pada utangnya, kelebihan menjadi hak pemiliknya. Namun, jika
hasil penjualannya masih kurang kurang untuk menutupi utangnya, kekurangannya
harus ditutup oleh pemilik barang gadai tersebut.
Pengadaian
konvensional yang selama ini dikenal masyarakat dengan menggunakan bunga sama
hukumya dengan melakukan transaksi pada bnak konvensional yang memakai bunga
dan diharamkan oleh para ulama. Dasarnya ancamannya adalah Sabda Rasulullah
Saw. yang diriwayatkan Muslim dan Ahmad: yang melaknat pemakan uang riba
(bunga), pembayar riba, petugas administrasi dan parasaksinya[5].
C. Perkembangan
Pengadaian Syraiah Di Indonesia
Perkembangan
pengadaian syariah ibarat jamur pada musim hujan, walaupun secara kuantitas
kantor jaringan, nasabah, omset dan laba masih belum besar. Perkembangan tersebut
masih dipertimbangkan apalagi dengan adanya kebijakan manajemen dibeberapa
daerah kantor jaringan konvnesional di konversi semua menjadi kantor jaringan
pegadaian syariah yang ada di propinsi Nanggroh Aceh (NAD). Perkembangan yang
sudah dicapai tentunya tidak lepas dari kekurangan. Namun secara umum
pekembangan pegadaia syariah di Indonesia sudah cukup menggembirakan. Pada
akhir febuari 2009 jumlah pengadaian syariah mencapai RP1,6 triliun dengan
jumlah nasabah 600ribu orang dan jumlah kantor cabang berjumlah 120. Jumlah
tersebut masih lebih kecil dibanding dengan kantor cabang pengadaian
konvensional yang berjumlah 3002. Pembiayaan pengadaian syariah untuk usaha
kecil dan menenggah (UKM) sebesar RP 8,2miliyar. Yang berarti lebih besar
jumlahnya dari target awal, sebesar RP 7,5 miliyar. Peningkatkan bisnis gadai
syariah meningkat hingga 158% pada akhir tahun 2010. Hal tersebut meningkat
tajam dari tahun sebelumnya sebesar 90%. Sedangkan peningkatkan pengadaian
syariah tahun 2008 lebih rendah dibandingkan tahun 2009 dan 2010 yang hanya
67,7% . Secara umum perkembangan pengadaian syariah mengalami peningkatan yang
pesat dari tahun ketahun.[6]
BAB III
KESIMPULAN
Kata
bank berasal dari bahasa Italia, banca yang berarti meja. Menurut UU Nomor 10
Tahun 1998 tentang Perbankan, yang dimaksud bank adalah badan usaha yang
menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya
kembali kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan atau bentuk-bentuk lainnya
dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak.
Pegadaian itu sendiri
terdapat dua (2) macam, yaitu pegadaian konvensional dan pegadaian syariah.
Sedangkan
istilah-istilah pada keduanya pun memiliki perbedaan, seperti gadai pada
konvensional dan rahn pada syariah.
Prosedur peminjaman pada
pegadaian pun lebih cepat dan biaya yang dikenakan relative kecil sehingga
mampu menarik perhatian nasabah atau rahin.
Untuk sekarang ini,
pegadaian konvensional lebih marak atau lebih banyak beredar di masyarakat luas
dan lebih banyak diketahui dibandingkan pegadaian syariah dikaranakan
kebaradaan pegadaian komponen-komponen pendukung produkrahn yang
terbatas, seperti sumberdaya penafsir, alat untuk menafsir, dan gudang
penyimpanan barang jaminan. Oleh karena itu, tidak semua bank mampu
memfasilitasi keberadaan rahn ini, tetapi jika keberadaan rahn
sangat dibutuhkan dalam sistem pembiayaan bank, maka bank tersebut memiliki
ketentuan sendiri mengenai rahn, misalnya dalam hal barang jaminan ukurannya
dibatasi karena alasan kapasitas gudang penyimpanan barang jaminan terbatas.
Dan juga produk dari
pegadaian syariah itu sendiri yang belum dikenal oleh masyarakat luas.
DAFTAR
PUSTAKA
Syukri Iska, Rizal, Lembaga Keuangan Syariah,
(Batusangka: STAIN Batusangkar Press, 2005)
Syukri Iska, Sistem Perbankan Syariah Di
Indonesia Dalam Perspektif Fiqh Ekonomi, (Yogyakarta:Fajar Media Press,
2012)
Heri Sudarsono, Bank Dan Leembaga Keuangan
Syariah, (Yogyakarta: Januari 2003)
Perkembangan
Pengadaian syariah di indonesia, di unduh 19 april 2014
Veithzal Rivai, Bank And Financial Institution
Management, (Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada, 2007)
[1] Syukri
Iska, Rizal, Lembaga Keuangan Syariah, (Batusangka: STAIN Batusangkar
Press, 2005), h, 62
[2] Syukri
Iska, Sistem Perbankan Syariah Di Indonesia Dalam Perspektif Fiqh Ekonomi,
(Yogyakarta:Fajar Media Press, 2012), h, 180
[5] Veithzal
Rivai, Bank And Financial Institution Management, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2007), h, 1342
Komentar
Posting Komentar